Stunting masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama pada anak di bawah dua tahun (baduta). Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan gizi kronis yang terjadi sejak masa kehamilan hingga usia dua tahun, serta faktor lain seperti pola asuh yang kurang tepat dan infeksi berulang. Stunting tidak hanya berdampak pada tinggi badan anak yang lebih pendek dibandingkan dengan usianya, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan otak, sistem kekebalan tubuh, dan kemampuan belajar di masa depan. Di Desa Sunggingan, masih ditemukan anak-anak yang berisiko mengalami stunting akibat kurangnya pemahaman orang tua tentang gizi seimbang. Beberapa faktor yang menjadi kendala antara lain keterbatasan akses terhadap informasi kesehatan, kebiasaan pola makan yang kurang baik, serta anggapan bahwa makanan sehat harus selalu mahal. Padahal, dengan pemahaman yang benar, pemenuhan gizi seimbang dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan pangan lokal yang terjangkau dan mudah diolah.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari program Kuliah Kerja Nyata (KKN), Rianti Nurhalizah Utomo, mahasiswa Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Gizi, melaksanakan kegiatan edukasi mengenai pentingnya pemilihan makanan bergizi sebagai upaya optimalisasi tumbuh kembang anak. Kegiatan ini dilaksanakan di Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa Sunggingan, bertepatan dengan pelaksanaan imunisasi rutin bagi balita. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para orang tua tentang peran gizi seimbang dalam mencegah stunting, kondisi gagal tumbuh yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang masih menjadi tantangan kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak, khususnya sapi, sempat menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat terkait keamanan konsumsi daging. Meski demikian, daging dari hewan yang terinfeksi PMK sebenarnya masih dapat dikonsumsi dengan aman asalkan diolah dengan benar. Virus PMK tidak menular ke manusia, tetapi dapat bertahan di jaringan hewan tertentu. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa daging dimasak hingga suhu minimal 70°C agar virusnya mati, serta membuang bagian yang terinfeksi seperti luka dan lepuh. Proses penyimpanan dan pengolahan yang higienis juga sangat diperlukan agar tidak terjadi kontaminasi silang.
Memahami pentingnya edukasi terkait pengolahan daging PMK, Rianti Nurhalizah Utomo, seorang mahasiswa KKN dari Program Studi Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP), menginisiasi program edukasi dan penyuluhan di Desa Sunggingan. Program ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terutama ibu balita bahwa daging sapi yang terjangkit PMK masih dapat dikonsumsi jika diolah dengan tepat. Dengan pemilihan metode edukasi yang sederhana dan mudah dipahami, masyarakat diharapkan tidak lagi merasa takut untuk mengonsumsi daging yang aman dan bergizi. Kegiatan tersebut dilaksanakan berbarengan dengan Imunisasi rutin pada tanggal 21 Januari 2025 bertempat di Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa Sunggingan.
Sebagai media edukasi, Rianti menggunakan poster yang berisi langkah-langkah pengolahan daging PMK yang benar agar tetap aman dikonsumsi. Poster ini mencakup informasi penting seperti cara pemilihan daging yang layak, teknik memasak yang tepat, serta anjuran penyimpanan yang higienis. Dengan visual yang menarik dan bahasa yang mudah dipahami, poster ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi masyarakat dalam mengolah daging secara aman. Melalui program ini, Rianti tidak hanya membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keamanan konsumsi daging PMK, tetapi juga berkontribusi dalam memastikan kebutuhan protein hewani tetap terpenuhi. Edukasi ini menjadi solusi bagi masyarakat Desa Sunggingan agar tetap dapat mengonsumsi daging dengan aman tanpa khawatir akan dampak kesehatan. Dengan adanya pemahaman yang lebih baik, diharapkan tidak ada lagi pemborosan sumber daya pangan akibat kesalahpahaman tentang PMK, sehingga ketahanan pangan dan gizi masyarakat tetap terjaga.